Mencari padanan kata yang
tepat terkadang sulit ditemukan dari satu bahasa ke bahasa lain. Sebuah kata
mengkomunikasikan, mewakili maksud dari yang berkata kepada pendengarnya.
Tercakup di dalamnya latar belakang sosial, kultural, dan sebagainya. Maka
ketika dipadankan dengan suatu bahasa dari komunitas lain dengan sosial dan
kulturan yang berbeda terjadi kesulitan atau bahkan tidak ditemukan padanan
kata yang tepat.
Nama buah di daerah
tropis bisa tidak ditemukan padanan katanya di daerah kutub karena di kutub
tidak ada buah yang dimaksud. Demikian pula dengan istilah-istilah lain. Karena
itu para penerjemah pada akhirnya tidak memberikan padanan kata di bahasa ibu
yang ia gunakan melainkan menulisnya miring dan memberi catatan footnoot untuk
menjelaskan apa yang dimaksud.
Kiranya uraian di atas
dapat memberi gambaran bahwa ada banyak kata dari banyak bahasa yang tidak ada
padanan yang tepat betul dengan bahasa lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah
kata “din”. Kata berasal dari bahasa Arab ini biasa diterjemah “agama” ke
dalam bahasa Indonesia mungkin belum 100 tahun, namun diam-diam sebagian dari
kita terutama yang tidak pernah belajar bahasa Arab secara mendalam meyakini
bahwa kata “agama” sudah pas sebagai padanan kata “din”.
Tulisan ini saya anggap
perlu mengingat kata tersebut menempati posisi penting di dalam studi Iman
Ibrahim dan berusaha mengkaji bahwa din
bukanlah sekedar bermakna agama pada umumnya. Mari kita lihat apakah kata agama
bisa disepadankan dengan kata “din” tanpa tanda kutip di dalam benak kita.
Din bukan sekedar Agama? |
Beberapa
Pengertian Agama
Berikut kami kutipkan
beberapa pendapat ahli tentang pengertian Agama.
Menurut KBBI agama adalah
sistem yang mengatur tata keimanan/kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Maha kuasa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia lainnya.
Anthony F.C. Wallace
mengatakan, agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi lewat
mitos dan menggerakkan kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai
terjadinya perubahan keadaan pada manusia dan semesta.
Parsons & Bellah
mendefinisikan agama adalah tingkat yang paling tinggi dan paling umum dari
budaya manusia.
Émile Durkheim
berpendapat bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai
umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan
kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya
Linguis Bahrun Rangkuti
mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta;
a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah
bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan,
cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan.
Harun Nasution mengatakan
bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang terkandung di dalamnya
merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun
dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan suatu
ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Sutan Takdir Alisyahbana:
agama adalah suatu system kelakuan dan perhubungan manusia yang pokok pada
perhubungan manusia dengan rahasia kekuasaan dan kegaiban yang tiada terhingga
luasnya, dan dengan demikian member arti kepada hidupnya dan kepada alam
semesta yang mengelilinginya.
Ciri
Agama
Adapun ciri-ciri agama antara lain : 1) Adanya kepercayaan terhadap yang ghaib, kudus dan Maha Agung dan
pencipta alam semesta (Tuhan); 2) Melakukan hubungan dengan berbagai cara
seperti dengan mengadakan upacara ritual, pemujaan, pengabdian dan do'a; 3)
Adanya suatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya; 4)
Adanya pembawa/pendiri agama; 5) Agama tidak hanya untuk agama, melainkan untuk
diterapkan dalam kehidupan dengan segala aspeknya.
Beberapa
Indikasi
Berikut kami muat tiga
indikasi penting terkait pemaknaan din dalam sejarah dan juga Al-Quran.
a.
Madinah
Kota
Madinah di negara Arab sana dahulu bernama Yasrib. Perubahan namanya terkait
dengan perjalanan misi kenabian Muhammad SAW bin Abdullah di mana setelah
hijrah beliau memberi nama kota itu menjadi Madinah.
Syafii
Antonio menjelaskan, “madinah” secara umum atau harfiah berarti kota.
Pengertian ini tidak jauh berbeda dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya
yang dapat ditelusuri kepada tiga suku akar katanya yaitu “d-y-n” {dal-ya-nun)
dengan makna dasar “patuh”, sebagaimana dinyatakan dalam tashrif
“dana-yadinu “. Dari kata ini pula kata “din” yang
berarti agama berasal. Suatu kata yang yang mengacu kepada ide tentang
kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut
“agama” itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu
yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup.
Paska
hijrah, komunitas yang dipimpin Nabi sudah terbebas dari kuasa pemerintah
Makkah termasuk bebas di dalamnya untuk menjalankan ibadah dan melaksanakan
semua perintah allah dan rasulnya. Dapat dimengerti jika Madinah juga berarti
tempat di mana din Allah bisa diwujudkan secara nyata.
b.
Dinul Malik
Al-Quran
surat Yusuf [12:76]
فَبَدَأَ بِأَوْعِيَتِهِمْ قَبْلَ وِعَاءِ أَخِيهِ ثُمَّ اسْتَخْرَجَهَا
مِنْ وِعَاءِ أَخِيهِ ۚ كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ
أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ
مَنْ نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Maka mulailah Yusuf
(memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya.
Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf
menghukum saudaranya menurut undang-undang
raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami
kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang
Maha Mengetahui.”
Din diartikan dengan undang-undang tentu jelas
dimengerti sebab agama—Islam misalnya-- tidak bisa digunakan untuk mengadili
selain sedikit urusan, misalnya pernikahan di KUA. Sedangkan bagaimana
pengadilan kita di Indonesia misalnya, jelas undang-undang warisan Belanda
meski tidak 100%. Hukum agama apapun di Indonesia bukanlah hukum positif meski
mempunyai banyak “pasal” yang mungkin untuk dipakai untuk mengadili para
terdakwa.
c.
Din Para Nabi
Terdapat
pula ayat yang menyebutkan bahwa Allah mensyariatkan din yang sama kepada Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Yakni Q.S. Asy Syuura [42:13]:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ
أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ
مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي
إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyariatkan bagi
kamu tentang agama (din) apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama (din) dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Tentu menjadi persoalan ketika ada anggapan umum
bahwa pembawa agama Kristen adalah Nabi Isa, Pembawa agama Yahudi adalah Musa,
dan Muhammad membawa agama Islam. Ada tiga nabi dengan Allah yang sama tetapi
agamanya berbeda dan bahkan bertentangan…. Pemaknaan din sebagai agama dalam
hal ini tentu sulit diterima. Banyak sekali perbedaan di antara ketiganya mulai
dari hal ritual atau tata cara peribadatan, keorganisasian, rumah/tempat
ibadah, hari-hari keagamaanya, bahkan teologinya berbeda.
Lalu bagaimana kita memaknai
din secara lebih luas dari pada sekedar agama? Tulisan ini akan disambung pada
bagian 2.
0 Komentar