About Me

header ads

Firaun Zaman Now










Penghambaan berganti baju dan bahkan kulit dari masa ke masa, seperti ular. Tapi ular tetaplah ular, meski indah kulitnya ia sangat berbahaya: berbisa dan menelan mangsanya hidup-hidup atau setelah mati, tergantung jenisnya. Alkitab mencatatnya dengan kalimat cerdik seperti ular.

Kecerdikan penghambaan telah mencapai kecanggihan yang sangat hingga orang berlomba untuk dicucuk hidungnya. Bukan tanpa alasan, menjadi hamba/budak dianggap lebih menjanjikan kecukupan sandang-pangan-papan dari pada harus mandiri layaknya layang-layang putus.

Hanya dua yang mampu menyelenggarakan penghambaan dengan sempurna, Tuhan dan Firaun. Sejarah mencatat bagaimana manusia berbuat apa pun demi Tuhan bahkan dengan tulus iklas. Sementara Firaun kesempurnaanya ada pada kelengkapan aparaturnya dari pengkonsep, perencana, pelaksana, dan pengontrol semua “kerja paksa”.

Pada level rendah, para hamba memang betul-betul diperas tenaganya seperti kuda dan mesin. Mereka hanya diberi rumput, bensin dan kelengkapan lain ala kadarnya agar tetap dapat bergerak dan bekerja. Tidak lebih. Sama dengan yang dilakukan Uni Soviet di penjara Gulag (1917-1991). Kerja rodi era VOC, romusa, dan lain-lain.

Level berikutnya para hamba masih punya fasilitas tambahan. Ini seperti kuda balap, mobil balap atau hobi. Sang tuan memberi perlakuan khusus: makanan bermutu, BBM rendah oktan, juga ornamen penghias. Ketika menang di arena pacuan dan mendapat hadiah, bahkan hamba level ini juga berhak untuk bersenang-senang.

Lebih tinggi lagi, fasilitas kemudahan kredit dengan bunga rendah. Meski kadang terasa mencekik tetapi masih dapat dinikmati tidak perlu berdarah-darah parah. Siang malam harus kerja untuk memenuhi tagihan demi tagihan. Hidup memang mampir nyicil hutang.

Mau level berapapun, hamba tetaplah hamba. Dari tukang parkir sampai juru pikir yang digelari manajer atau direktur, dia tetaplah buruh dari bos pemilik perusahaan. Hingga level dunia sekalipun, para pemimpin area yang besar dan keren itu sering terlihat laksana boneka yang entah siapa pengendalinya, invisible super boss, sehingga tidak pro rakyat. Sungguh kasihan.

Musa diperintahkan Tuannya untuk menegaskan, “Hai Firaun, Anda telah melampaui batas. Hanya Tuanku Sang Raja sejati. Bukan hak Anda menyelenggarakan pengabdian manusia atas manusia lain!” Firaun tak bergeming meski ditunjukkan data-data argumentatif. Ia merasa cukup sakti dan aman dengan segala tameng pelindung yang dikoordinir Haman. Yakin bahwa tidak akan ada yang mampu menggoyahkan kekuasaanya.

Seperti Jaman Now, Firaun dulu mungkin membebaskan orang bersembahyang untuk menyembah siapapun atau apapun. Tapi tidak boleh mengganggu jam kerja, produktivitas, dan keamanan kekuasaanya. Tuan lain boleh eksis asal di rumah ibadah saja, ritual saja, dengan sedikit boleh usul memasukan hukum Tuan agamanya ke dalam hukum positif Firaun dengan seleksi ketat. Hukum pernikahan adalah contoh yang lolos seleksi. 

Mungkin seperti yang dialami Nuh, Musa frustasi ketika presentasinya kepada penguasa ditolak mentah-mentah. Pergerakannya dibatasi, disesah, dibuli habis-habisan. Tapi bukan penghabisan selain pengikutnya seperti doa Nuh, Musa pasrah dan berdoa agar harta kekayaan Firaun dibinasakan. Atas dakwaan menyombongkan diri, menyesatkan manusia dari mengabdi kepada satu Tuan saja menjadi berbagi dengan Firaun.

Al-Quran menceritakan bagaimana bandelnya Firaun. Meski sudah diberi kemarau bertahun-tahun dan kurang pangan, diterpa topan, belalang, kutu, katak dan darah, tetap saja Fir’aun menentang Musa. Taurat menceritakan lebih banyak lagi: 10 tulah.

Firaun tidak sendirian dalam memperhamba Bani Israil, melainkan berkolaborasi dengan Haman dan Qorun. Tiga figur inilah yang keras menentang gerakan pemerdekaan Musa. Taurat dan Al-Quran mencatat bagaimana kemudian kekuasaan mereka dihancurkan.

Firaun Jaman Now juga berusaha mengangkangi semua hal. Di bidang politik kekuasaan, utamanya. Raja-raja kecil di seluruh pelosok bumi tunduk kepada raja besar baik raja Barat maupun Timur. Haman setia menjaga mereka dengan alutsista super canggih dari yang kasat mata seperti jet tempur pembawa bom hingga senjata biologi yang bergerak dalam senyap.

Qorun berperan mencetak uang dan mengendalikan kekayaan untuk beredar hanya di piramida atas. Memastikan agar sepersen kecil populasi menguasai mayoritas kekayaan dunia. Dengan uang jugalah kasta teratas modern “memaksa” mayoritas menjadi hamba yang lemah dan mudah dikendalikan. Protes buruh dari tahun ketahun hanyalah nyanyian bisu bagi para tuan.

Sementara itu, pergerakan Protestan berbuah halalnya praktek bunga bank. Disusul modernisasi Islam melakukan hal yang sama. Boleh saja dilabeli syariah asal semua harus di bawah kendali tuan besar dunia. Kepada tuan kulakan duit, kepada tuan pula bunga dibayarkan. Percetakan uang yang hanya kertas bertulis tanpa ada emas real di balik angkanya, menjadi alat penghisap kekayaan negara-negara hingga penjual sebakul nasi pecel di pasar-pasar. “Mendanai” produksi kapal perang hingga “menolong” si miskin membeli sebuah ember. Semua dengan operasi yang sama, riba. Baik itu riba biasa maupun riba syariah, sama saja menghisap.





Kedzaliman massif dan ketidakadilan sangat berpotensi menjadi penyebab kehancuran. Maka apa yang terjadi pada masa Musa tentu tidak semata faktor alam. Dari zaman ke zaman kita juga mencatat kehancuran selain era Firaun. Sebagian masih bisa kita analisa, teliti, dan disimpulkan untuk dijadikan pelajaran. 

ara sejarawan, antropolog dan lain-lain. Pertama, perubahan iklim. Ketika stabilitas iklim berubah, hasilnya bisa menjadi bencana, yang menimbulkan kegagalan panen, kelaparan dan desertifikasi. Runtuhnya Anasazi, peradaban Tiwanaku, Akkadians, Maya, Kekaisaran Romawi, dan banyak lainnya, semuanya bertepatan dengan perubahan iklim yang tiba-tiba, biasanya kekeringan.

Kedua, degradasi lingkungan. Keruntuhan dapat terjadi ketika masyarakat melampaui daya dukung lingkungan mereka. Teori keruntuhan ekologis ini, yang telah menjadi subjek buku-buku terlaris, menunjukkan deforestasi berlebihan, polusi air, degradasi tanah, dan hilangnya keanekaragaman hayati sebagai penyebab yang memicunya.

Ketiga, ketidaksetaraan dan oligarki. Kekayaan dan ketidaksetaraan politik dapat menjadi pendorong utama disintegrasi sosial, seperti halnya oligarki dan sentralisasi kekuasaan di antara para pemimpin. Ini tidak hanya menyebabkan tekanan sosial, tetapi juga menghambat kemampuan masyarakat untuk merespons masalah ekologi, sosial dan ekonomi.

Bidang cliodynamics memodelkan bagaimana faktor-faktor seperti kesetaraan dan demografi berkorelasi dengan kekerasan politik. Analisis statistik masyarakat sebelumnya menunjukkan bahwa ini terjadi secara siklus. Ketika populasi meningkat, pasokan tenaga kerja melampaui permintaan, pekerja menjadi murah dan masyarakat menjadi sangat berat sebelah. Ketidaksetaraan ini merusak solidaritas kolektif, disusul turbulensi politik.

Keempat, kompleksitas. Ahli kehancuran peradaban dunia dan sejarawan Joseph Tainter berpendapat bahwa masyarakat pada akhirnya akan runtuh di bawah beban akumulasi kompleksitas dan birokrasinya sendiri.

Masyarakat adalah pemecahan masalah kolektif yang tumbuh dalam kerumitan untuk mengatasi masalah-masalah baru. Namun, keuntungan dari kompleksitas ini akhirnya mencapai titik kepuasan yang menurun. Setelah titik ini, mau tak mau keruntuhan akan terjadi.

Ukuran lain dari meningkatnya kompleksitas disebut Energy Return on Investment (EROI). Ini mengacu pada rasio antara jumlah energi yang dihasilkan oleh sumber daya relatif terhadap energi yang dibutuhkan untuk mendapatkannya. Seperti halnya kompleksitas, EROI tampaknya memiliki titik pengembalian yang menurun. Dalam bukunya The Upside of Down, ilmuwan politik Thomas Homer-Dixon mengamati bahwa degradasi lingkungan di seluruh Kekaisaran Romawi menyebabkan jatuhnya EROI dari sumber energi pokok mereka: tanaman gandum dan alfalfa. Kekaisaran jatuh bersama EROI mereka. Tainter juga menyalahkannya sebagai penyebab utama keruntuhan, termasuk untuk bangsa Maya.

Kelima, faktor eksternal. Tercakup di dalamnya "Empat penunggang kuda", yaitu perang, bencana alam, kelaparan dan wabah. Kekaisaran Aztec, misalnya, diakhiri oleh penjajah Spanyol. Kebanyakan negara agraris awal lebih cepat berakhir karena wabah mematikan.

Sementara itu, kesimpulan analisa statistik bahkan mengatakan bahwa keruntuhan kekuasaan terjadi secara acak tanpa tergantung usia. Tapi “kehancuran” pun dapat terjadi tanpa bencana hebat. Seperti yang ditulis Rachel Nuwer di BBC Future pada tahun 2017, “dalam beberapa kasus, peradaban menghilang begitu saja…”


Intinya kita tidak tahu dengan cara apa pastinya sebuah kekuasaan yang melampaui batas dan jahat itu akan tumbang pada akhirnya, termasuk Firaun Jaman Now


Posting Komentar

0 Komentar