Merujuk
pada kamus Mu’jam al-Ma’ani al-Jami’, hijrah berakar kata dari fi’il
(kata kerja); (hajara–yuhajiru–muhajarat[an]
wa hijrat[an]–muhajir[un]–muhajar[un]). Artinya: keluar, berpindah,
menjauhi, meninggalkan. Hajara
min makanin kadza (berpindah dari tempat ini), wa hajara ‘anhu (meninggalkan dan
keluar darinya menuju tempat lain). Kata ini biasa diterjemah exodus dalam bahasa Inggris. Sementara
itu, hijrah menurut KBBI:1. perpindahan Nabi Muhammad saw. bersama
sebagian pengikutnya dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan
sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy, Mekah; 2. Berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu
tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan,
kebaikan, dsb).
Hijrah Era Nabi SAW
Al-Qur’an
menyebut tidak kurang dari 31 kata yang berasal dari kata hajara. Tidak kurang dari 6 ayat yang
menyebutkan kata hajaruu
(orang-orang yang berhijrah) bergandengan
dengan kata aamanuu (orang-orang yang
beriman) dan jahaduu
(orang-orang yang berjihad). Sebagian lagi kata hajaruu diiringi dengan kata fillah
(karena Allah) atau fi sabiilillah (di jalan Allah).
Beberapa poin yang dapat dipahami dari ayat-ayat hijrah antara lain;
pertama, hijrahnya seorang mukmin menjadi penegasan
keberimanannya. Mengucapkan sahadat mungkin bisa dengan mudah diucapkan mulut,
tetapi meninggalkan Makkah ke tempat lain tidak semudah berkata-kata.
Firman-Nya, “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di
jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi
pertolongan (kepada orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh
ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.” (Q.S Al-Anfal: 74)
Kedua,
hijrah
tidak sekedar pindah tempat seperti merantau ke kota, atau transmigrasi
sekalipun. Pindahnya kaum
mukmin era Nabi SAW misalnya, jelas terkait dengan represi, penolakan terhadap
dakwah, bahkan pengusiran dari kediaman. Jika tidak pindah tempat maka
masyarakat sekitar mensyaratkan untuk kembali ke agama mereka. Umat yang tidak
mau ikut hijrah disebut mendzalimi diri sendiri. Firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya
oleh malaikat dalam keadaan mendzalimi diri sendiri, mereka (para malaikat)
bertanya, “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang
tertindas di bumi (Mekah).” Mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi
Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?”
Maka mereka itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk
tempat kembali, (97) kecuali mereka yang tertindas itu, baik laki-laki atau
perempuan dan anak-anak, mereka tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk
berhijrah), (98) maka mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S An-Nisa: 97-99).
Ketiga,
hijrah merupakan jalan taubat sekaligus bersatunya tempat tinggal antara
Muhajirin dan Anshar. Orang-orang mukmin yang mempunyai dosa kemudian ikut
berhijrah, maka taubatnya diterima. “Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi,
orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi pada
masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian
Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka.” (Q.S At-Taubah: 117).
Selain membicarakan terkabulnya taubat yang pasti, bukan “semoga”, ayat
di atas juga membicarakan
dua macam mukmin kala itu. Muhajirin adalah orang-orang yang meninggalkan
kampung halamannya dan datang ke tempat hijrah yang dituju, sedangkan Anshar
adalah “tuan rumah” yang menerima kedatangan para muhajirin untuk kemudian
membantu kebutuhan sandang, pangan, dan papannya.
Diutusnya Nabi SAW bukanlah untuk sosialisasi ibadah ritual seperti
sholat lima waktu, puasa, zakat, dan haji. Masyarakat Qurais sudah melakukan
itu semua termasuk beliau sebelum kenabian. Ada hal lain yang lebih penting
dari itu semua yaitu persoalan ideologi atau akidah, muamalah, dan juga hukum
positif yang kesemuanya tidak untuk dipisah dan berdiri sendiri-sendiri.
Sebagai penerus estafeta perjuangan kehidupan ilahiah yang full tauhid;
uluhiah, rububiah, dan mulukiah, hijrah Nabi SAW seperti dilakukan pendahulu
sebagai konsekuensi dakwah dan cita-cita terwujudnya kehidupan tauhid yang
nyata di muka bumi. Kita dapat melacak melalui catatan sejarah yang hingga kini
masih ada.
Pertama, hijrahnya Nabi Ibrahim. Beliau
hijrah dari Ur Kasdim menuju Haran. Kisah Abraham (nama
awalnya Abram) dimulai di sini, dalam Kitab Kejadian 12:1-3 dituliskan:
“Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pergilah
dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu
ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu;
Aku akan membuat
engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta
membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan
memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk
engkau, dan olehmu semua kaum
di muka bumi akan mendapat berkat.”
Al-Quran juga mengkonfirmasi peristiwa tersebut:
فَآمَنَ
لَهُ
لُوطٌ
وَقَالَ
إِنِّي
مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي
إِنَّهُ
هُوَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Maka Luth membenarkan
(kenabian Ibrahim). Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus
berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” – (Q.S Al-Ankabut: 26)
Sudah
menjadi kisah masyhur bagaiama Nabi Ibrahim tidak bisa hidup tenang di tanah
kelahirannya. Ajakan hidup serius bertuhan berbuah permusuhan yang mengancam
beliau kehilangan apa saja termasuk nyawa. Karena itulah beliau berbaroah atau berlepas diri dari kehidupan
yang baginya tidak sesuai dengan akidah.
Kedua, hijrahnya Nabi Musa. Dilatari oleh penindasan di mana Fir'aun adalah
penguasa saat itu. Al-Quran Surat 14 ayat 6
mengatakan: "Dan ketika Musa berkata
kepada kaumnya: Ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dan
Fir'aun dan pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih,
mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu, membiarkan hidup anak-anak
perempuanmu, dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari
Tuhanmu."
Musa diiperintahkan angkat
kaki dari Mesir dengan membawa serta umatnya. Disebutkan dalam Al-Quran surat
20 ayat 78."Dan sesungguhnya telah
Kami wahyukan kepada Musa. Pergilah kamu dengan hamba-hambaKu (Bani Israil)di
malam hari maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak
usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam),maka Fir'aun
dengan balatentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang
menenggelamkan mereka. Dan Firaun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi
petunjuk."
Al-Qur-an surat
Al-Baqarah ayat 133 juga mendokumentasikan peristiwa terkait, yakni adanya 5 penderitaan
yang ditimpakan Allah kepada bangsa Mesir yaitu: banjir, belalang,
kutu-kutu, katak dan darah. Kitab Taurat
bahkan menyebutkan sepuluh penderitaan
di Mesir sebagai hukuman
Tuhan secara panjang lebar.
Hijrah yang
tercatat dalam ayat-ayat di atas baik yang dilakukan mukmin era Nabi Ibrahim,
era Nabi Musa, dan era Nabi Muhammad dapat ditarik benang merah kesamaanya. Di
antaranya yaitu adanya perintah Allah untuk angkat kaki sebagai jalan damai
keselamatan kaum mukmin dari orang-orang yang memusuhi ajaran tauhid. Kedua,
sebagai permulaan hidup baru atas dasar persaudaraan ilahiah di mana mereka
dapat hidup sesuai dengan keyakinannya, dapat mematuhi seluruh perintah Allah,
melaksanakan hukum-hukum-Nya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Hidup yang
merdeka untuk mengabdi hanya kepada Allah saja.
Ketiga, di tempat
yang baru, setelah terbentuk komunitas mukmin yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur, selanjutnya menyusun kekuatan agar tidak diganggu oleh negara manapun
yang ingin ekspansi, intervensi, ataupun menjajah.
Ending
Hijrah
Salah satu
prinsip para Nabi dan pengikut setianya adalah furqon. Prinsip ini mereka pegang hingga akhir hayatnya. Mereka
mewajibkan diri untuk berbeda dengan non mukmin apalagi para penentangnya.
Tujuan hidup yang tidak lain untuk menjadi hamba dari Tuan Pencipta Alam,
dengan petunjuk Utusan dan Kitab-Nya menjadikan mereka otomatis berbeda.
Selain aqidah
atau keyakinan, ajaran bagaimana mengelola komunitas besar manusia dan bumi
tempat tinggalnya juga sangat berbeda. Pada posisi ini Nabi Muhammad dianggap
mengancam penguasa Makkah. Keinginan Nabi Musa untuk membebaskan
saudara-saudaranya dari perbudakan membuatnya bergesekan dengan Fir’aun.
Demikian pula yang dialami Bapak orang beriman Ibrahim. Beliau harus angkat
kaki dari tanah kelahiran karena tidak mungkin ajaran dari Tuan beliau
dipraktekkan di sana.
Sisi muamalah
lebih jelas lagi. Bagaimana praktek riba harus ditiadakan di komunitas mukmin
karena itu bentuk kezaliman sesama manusia, misalnya, bukan perkara mudah
ketika masih hidup bersama di bawah kuasa rezim pro riba. Rezim memang
membiarkan orang siang malam meratap atau menyanyi di tempat ibadah ritual.
Semua bisa dan mungkin dilakukan oleh pengabdi Bos Semesta Alam selama tidak
mengganggu kepentingan rezim.
Tapi itu tidak
cukup. Para Nabi dan pengikut setianya amat sangat serius mengabdi hanya pada
satu-satunya Boss, Pencipta Semesta Alam. Tidak ada tempat di pikiran,
perkataan, dan perbuatan mereka untuk mendua dengan berbagi pengabdian kepada
Mamon, Fir’aun atau apa pun selain-Nya sebagaimana dilakukan oleh orang-orang
sekuler dan munafik. Hukum-hukum positif yang tertulis di Kitab suci dan
dititahkan para Utusan tidak bisa tidak kecuali diberlakukan ditempat yang
mandiri, terpisah dari kuasa bos-bos manusia.
Tanpa
kemerdekaan sejati, bebas dari perbudakan manusia atas manusia, tidak
mungkin Madinah era Nabi Muhammad
menjadi pusat “Kerajaan Allah” sebagaimana Yerussalem di masa Yosua dan Kaleb
penerus Nabi Musa. Sebuah negeri yang bebas dari kewajiban mengabdi kepada
selain kekuasaan Allah, negara-negara bangsa, atau kerajaan-kerajaan buatan
manusia yang ingin mengatur manusia lain atas kehendak sendiri. Merdeka menjadi
hamba Allah, taat pada hukum-hukum positif Allah, hidup bersama sesama mukmin
yang bersaudara, saling berkasih-sayang dan saling melindungi. Ya, suatu ending
capaian kehidupan yang damai sejahtera dalam arti yang sesungguhnya, baldatun toyyibun warobbun ghafur, tata titi
tentrem kerto raharjo yang sebenar-benarnya. Bukan jargon omong kosong. Bukan hayalan dan angan-angan.
0 Komentar